BERAKTIVITAS KEMBALI DI NEW NORMAL : Hidup Berdampingan dengan COVID-19 di Zona Merah, Nampaknya Bukan Menjadi Penghalang Bagi Mereka.
Aktivitas masyarakat di sekitar Pasar Anyar, Bogor
pasca pandemi COVID-19.
Kala itu saya akhirnya bisa melangkahkan kaki
melewati pintu pagar saya. Melihat pemandangan yang cukup melegakan hati namun
tetap membuat saya berhati-hati, orang-orang yang berlalu-lalang dijalanan
membuat saya teringat bahwa sudah empat bulan sejak mewabahnya virus COVID-19
di Indonesia. Masyarakat Indonesia harus melakukan pekerjaannya di rumah dan
tidak melakukan aktivitas diluar untuk sementara waktu agar terhindar dari
penularan virus COVID-19. Tentu bukanlah hal yang mudah bagi saya dan
orang-orang untuk dapat mengubah cara kami menjalani hidup yang secara
tiba-tiba. Berpikir keras mencari solusi untuk menanggulangi pekerjaan kami
yang tertunda, dan beberapa orang lainnya hanya pasrah menunggu kabar baik dari
pemerintah.
Beberapa waktu lalu, Pemerintah Indonesia
memberikan himbauan agar kami dapat menjalani hidup berdampingan dengan virus
COVID-19 sambil menjalani aktivitas seperti biasa. Tentu saja, kabar New Normal ini membawa banyak respon
positif dari orang-orang seperti kami. Inilah saatnya bagi kami mengejar
hal-hal yang sudah tertunda. Hari itu, saya berkendara menuju Kota Bogor yang
merupakan salah satu wilayah Indonesia yang ditandai sebagai zona merah. Pada
zona ini, protokol kesehatan yang diberlakukan lebih ketat karena pada zona
ini, resiko tertularnya virus COVID-19 lebih tinggi dibandingkan zona lainnya. Di
perjalanan saya menuju kota Bogor, terlihat sudah banyak pengendara yang
melintas, sepertinya mereka hendak pergi bekerja. Tidak lupa mereka menggunakan
masker, sarung tangan, bahkan ada yang menggunakan face shield. Saya melihat ini sepertinya sudah mulai menjadi trend bagi mereka.
Pengendara motor dan
angkutan kota yang sedang berhenti di lampu lalu lintas. Salah satu protokol
kesehatan selama new normal adalah wajib menggunakan masker.
Disamping kiri kanan, tampak kios-kios sudah mulai
kembali dibuka. Mereka menyediakan tempat untuk mencuci tangan yang terbuat
dari ember atau baskom yang dilubangi bagian bawahnya untuk dipasangkan sebuah
kran, baskom atau ember tersebut lalu diisi air dan di tutup bagian atasnya.
Disebelahnya, terdapat sabun cuci tangan. Menariknya adalah, mereka memasang
tanda ajakan untuk mencuci tangan, bahkan ada yang memasang beberapa gambar
untuk memberitahu cara mencuci tangan yang baik dan benar.
Saya melihat suka cita mereka dalam menjalani
pekerjaan mereka meskipun kondisi saat ini sangat mengkhawatirkan. Selama mereka
mengikuti protokol yang ada, mereka dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik
dan aman, tidak hanya bagi para pekerja, namun juga bagi masyarakat disekitar.
Selanjutnya saya melewati salah satu pasar yang ada di kota Bogor. Disana, saya
bertemu dengan teman lama yang akan menemani saya berkeliling kota Bogor. Tentu
sudah cukup lama bagi kami tidak bertemu sehingga kami melepas rindu dengan
mengobrol hal-hal ringan sambil melihat kondisi di sekitar pasar. Ternyata
aktivitas transaksi jual beli disini pun sudah berjalan dengan baik. Pedagang-pedagang
itu nampaknya melayani dengan baik para pelanggannya. Sayur dan buah-buahan
yang masih segar, seruan pedagang menawarkan dagangannya kepada khalayak,
rutinitas yang sebelumnya sempat terhenti, kini sudah mulai berjalan kembali.
Saya tidak melihat wajah takut dari mereka. Mereka melakukan itu semata-mata
untuk mencari nafkah. Kesempatan ini mereka lakukan untuk mengejar kembali
perekonomian mereka yang sempat mengalami penurunan sejak pandemi COVID-19.
Pedagang buah pepaya dan
pembelinya yang menggunakan motor melakukan transaksi. Pasca PSBB, masyarakat
dapat melakukan pekerjaannya yang sempat tertunda.
|
Tukang Cukur Dibawah Pohon Rindang Kebun Raya Bogor
Lalu kami
berkendara lagi melewati jalan yang dikelilingi oleh pohon-pohon rindang.
Jalanan disini tampak rapih dan teratur. Daun-daun yang berguguran akibat terpaan
angin. Samping kiri saya merupakan gedung-gedung pemerintahan, sedangkan
samping kanan tampak halaman yang luas dari Istana Bogor. Banyak orang-orang
yang sedang berjalan di trotoar bangunan tersebut, tertawa bersama anak-anak
sambil memandangi rusa-rusa yang menghampiri mereka. Saya selalu menikmati
suasana ketika melewati jalan ini. selanjutnya, kami melewati lapangan sempur.
Karena siang hari, lapangan sempur itu tampak sepi, hanya beberapa orang saja
yang terlihat. Masih dalam suasana yang menyegarkan, kami melewati kawasan
pertokoan dan mall, jalanan menjadi lebih luas karena merupakan gabungan dari
dua pertemuan antara jalan Pajajaran dan jalan Ir. H. Djuanda. Kami mengambil
bagian kanan jalan, tampak kanan saya orang-orang sedang berlari, duduk, dan
menikmati suasana sejuk di sekitar Kebun Raya Bogor (KRB). Di pertigaan
selanjutnya, tampak Tugu Kujang berdiri dengan kokoh, kami mengambil arah kanan
dan melewati Lawang Salapan. Ya, masuk kejalan ini, anda akan bertemu dengan
kemacetan. Menggunakan motor sangat menguntungkan bagi kami karena tidak
terlalu terhambat oleh kemacetan. Mata saya masih keasyikan melihat kiri-kanan
hingga suatu ketika, dari kejauhan dan diantara kendaraan-kendaraan yang
menghalangi jangkauan penglihatan saya, ada seseorang bapak-bapak yang terlihat
sedang mencukur rambut pelanggannya.
Seorang tukang cukur yang
membuka lapak dibawah pohon sekitar Kebun Raya Bogor. Ia merupakan tukang cukur
terakhir yang masih bertahan hingga saat ini.
|
Di kemacetan tersebut, teman saya berusaha untuk
mengambil arah kiri untuk dapat memarkirkan motor kami. Lumayan memakan waktu
karena sangat macet sekali. Untunglah, disana terdapat parkir motor, daerah ini
memang dekat sekali dengan pasar. Kami harus menyebrang terlebih dahulu untuk
dapat sampai ke trotoar KRB. Kami melewati beberapa kendaraan sambil
mengarahkan tangan kehadapan pengemudi yang menandakan untuk membiarkan kami
menyebrang. Sesampainya di trotoar, kami
berjalan menuju tukang cukur tersebut sambil memandangi jalan dan pohon-pohon
yang rindang disini. Rasanya seperti nostalgia. Dari kejauhan saya melihat
bapak tukang cukur tersebut sedang duduk memandangi jalan yang macet.
Kami menghampiri bapak yang menggunakan baju merah
kotak-kotak tersebut. Bapak ini menyambut kami dengan baik. Cara bicaranya yang
khas sunda sekali, matanya yang menyipit menandakan ia sedang tersenyum dibalik
maskernya yang berwarna hitam. Saya kira bakal menjadi perkenalan yang absurd, ternyata sangat menyenangkan.
Bapak Idrus namanya, ia bekerja sebagai tukang cukur dan membuka lapaknya di
trotoar KRB, lebih tepatnya dibawah pohon yang rindang yang berseberangan
dengan pertigaan gang Babakan Peundeuy.
Pengalamannya mencukur rambut ia latih secara
otodidak dengan menggunakan alat seadanya. Sebuah kursi plastik yang ditambal
kayu agar tidak patah, kerutan plastik yang menandakan bahwa kursi tersebut
sudah berusia berwarna putih yang sudah mulai memudar. Didepan kursi tersebut,
terdapat cermin berukuran sedang yang disenderkan pada batang pohon yang
berwarna coklat kehitaman. Di atas tembok sekitar pot, ia menata peralatan
mencukurnya. Varian gunting dengan fungsinya masing-masing, salah satu gunting
yang berukuran besar diikat tali agar pelindung gunting tersebut terlepas. Gunting-gunting
tersebut ia letakkan secara rapih di sebuah kotak pensil berwarna biru yang
resletingnya sudah tidak berfungsi. Ia menunjukkan alat terbarunya berupa mesin
cukur elektrik yang menggunakan baterai sebagai energinya. Selain itu terdapat
perlengkapan lainnya berupa sikat, sponge, bedak bayi, berbagai macam sisir,
kuas dan semprotan. Jam weker berwarna orange ia letakkan untuk mengetahui
waktu.
Ia mulai membuka lapaknya sejak tahun 2002,
bersama dengan teman-temannya. Kala itu, trotoar belum dibangun dan kendaraan
tidak sepadat sekarang. Orang-orang yang berlalu-lalang pada kala itu terkadang
mampir ke lapak mereka untuk mencukur rambutnya. Sambil mengenang masa lalunya,
pak Idrus berkata bahwa meskipun pada saat itu banyak tukang cukur yang membuka
lapak disekitar daerah itu, hal tersebut tidak membuatnya rugi, kompetisi yang
sehat dan tidak serakah adalah motto yang mereka pegang. Jika terdapat
pelanggan, mereka akan bergantian dengan urutan yang telah disepakati
sebelumnya. Selain itu, sambil menunggu pelanggan lainnya, mereka bisa
bercengkrama dan bermain catur.
Setahun kemudian, ia harus dihadapi masalah ketika
diadakannya konstruksi trotoar di KRB. Petugas keamanan memperingatinya untuk
tidak membuka lapak disekitar kawasan tersebut sehingga ia harus berpikir keras
untuk mencari alternatif pekerjaannya. Beberapa kali ia mencoba mencari tempat
lain untuk membuka lapak cukurnya, namun hasilnya tidak semanis di tempat
sebelumnya. Ia juga pernah menjadi tukang
cukur panggilan, namun itu juga hanya sekali dan tidak pernah ada panggilan
lagi. Ia tidak memiliki alat komunikasi sehingga sulit baginya menerima order
dari orang-orang. Sulit baginya untuk berganti haluan pekerjaan juga
dikarenakan umurnya yang sudah cukup tua, tenaga yang dihasilkan tidak sekokoh
dahulu, ia juga tidak mengeyam pendidikan tinggi, yang ia hanya bisa berikan
adalah keahliannya dalam mencukur.
Kini, pak Idrus adalah tukang cukur terakhir yang
masih bertahan, teman-temannya sudah berumur dan tidak sanggup lagi untuk
bekerja. Ia sudah tidak perlu resah membuka lapak disitu karena ia sudah
mendapat kepercayaan dari petugas keamanan dan pemerintah kota Bogor. Setiap
harinya, ia berangkat dari rumah menggunakan angkutan umum, lalu ia lanjutkan
dengan berjalan kaki hingga sampai di tempat ia membuka lapaknya sekitar jam 7
pagi lalu kembali pulang sekitar jam 5 sore. Jika hujan turun, ia harus
berteduh dahulu berlindung dari rintikan air di kota hujan hingga berhenti,
sementara lapaknya ia tutupi dengan plastik.
Pelanggan tidak selalu datang kepadanya. Jika
dihitung-hitung, pelanggan yang datang dapat dihitung dengan jari. Meskipun
jika dilihat, ia membuka lapak di tempat yang banyak dilalui orang-orang, hanya
beberapa pejalan kaki yang mampir ke lapaknya. Orang-orang yang tinggal disekitar
situ pun jarang ada yang datang. Terkadang beberapa volunteer datang untuk memberikannya sedekah berupa makanan.
Beberapa orang lainnya datang hanya untuk mengobrol dengannya. Jika pelanggan
datang, ia akan melakukan pekerjaannya dengan telaten. Ia tidak mematok harga
jasanya. Tidak semua pelanggannya orang yang mampu, sehingga ia menerima
bayaran jasanya seikhlasnya.
Masa pandemi kemarin ketika kota Bogor sedang
melaksanakan PSBB adalah masa yang sulit baginya. Ia tetap membuka lapaknya,
namun pelanggan yang datang hanya sekitar 1-2 orang, bahkan pernah ia pulang
tanpa membawa penghasilan. Meski begitu, ia tidak menyalahkan keadaan yang
menimpanya. Ia tetap menunggu pelanggannya, sambil memandangi jalanan Kota
Bogor, dan berteduh dibawah pohon rindang yang melindunginya dari teriknya
matahari.
Saya teringat bahwa ketika masa pandemi banyak
bantuan yang diberikan terutama untuk masyarakat yang membutuhkan. Banyak aksi
yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun organisasi sosial untuk membantu
masyarakat ekonomi kebawah agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya di masa
pandemi ini. Pada saat itu memang cukup berat, banyak masyarakat yang tidak
dapat menghasilkan dan bahkan ada pula yang kehilangan pekerjaannya secara
permanen. Mereka yang masih tersorot oleh kebaikan para relawan-relawan tentu
harusnya bersyukur. Sayang sekali terkadang kita tidak jeli dengan kondisi
sekitar, orang-orang yang berjuang untuk hidup dan tidak terlihat seperti pak
Idrus harus merasakan perjuangannya sendiri.
“Ya begitu neng, saya mah berusaha bertahan
aja. Syukur dapet kepercayaan disini,
jadi sekarang tinggal lakuin dengan ikhlas” kata Pak Idrus yang sedang
merapihkan alat-alatnya. Cuaca kota Bogor memang terkadang tidak terprediksi, terik
yang tadi kami rasakan kini berubah menjadi mendung. Saya dan teman saya
membantu pak Idrus merapihkan lapaknya, menutupi kursi dan cermin dengan
plastik, lalu memasukkan alat-alat pencukurnya kedalam ransel yang berwarna
merah muda. “Pokoknnya kita jangan pernah serakah aja neng, sabar, insyallah
nanti rezeki datang”.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Story&photos by : Silki Anisa Hidayat
Mentor : Ramadian Bachtiar
Comments
Post a Comment