Skip to main content

Kerang Hijau dan Laut Utara Ibukota

Kerang Hijau dan Laut Utara Ibu Kota
oleh Silki Anisa Hidayat

Pak Ci sedang membawa hasil tangkapan kerang hijaunya ke kapal

Hidup menjadi seorang nelayan di negara kepulauan terbesar di dunia bukan menjadi suatu hal yang asing lagi. Mayoritas masyarakat Indonesia yang tinggal di pesisir bekerja sebagai nelayan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Indonesia sendiri dikenal memiliki sumberdaya hayati laut yang melimpah. Berbagai macam cara dimanfaatkan masyarakat baik dari perikanan tangkap hingga perikanan budidaya. Pemanfaatan sumberdaya hayati laut oleh masyarakat pesisir tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di pelosok. Ditengah hiruk pikuk ibukota, masyarakat yang tinggal di pesisir utara DKI Jakarta pun hingga saat ini masih bertahan hidup bergantung dengan sumberdaya laut Jakarta.

Kecamatan Cilincing menjadi salah satu tempat tinggal bagi masyarakat pesisir utara Jakarta. Mayoritas masyarakat di Cilincing bekerja sebagai nelayan perikanan tangkap dengan komoditas utama berupa kerang hijau. Kerang hijau sendiri merupakan salah satu jenis kerang-kerangan yang memiliki nilai ekonomis penting dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein selain ikan. Hewan ini sangat mudah ditemukan karena sifatnya yang sesil atau menempel di substrat, batu, dan lainnya. Hewan ini juga memiliki laju pertumbuhan yang cepat bergantung dengan peningkatan suhu air dan ketersediaan makanannya. Teluk Jakarta memiliki sumberdaya kerang hijau yang cukup melimpah. Banyak nelayan Cilincing memanfaatkan kerang hijau sebagai ladang mencari nafkah. Tidak heran, Cilincing sering di sebut sebagai sentra/kampung kerang hijau. Industri kerang hijau di Cilincing sudah berjalan sangat lama sekali bahkan sebelum perairan DKI Jakarta berubah seperti sekarang. Meskipun kondisi perairan DKI Jakarta yang kian hari mengalami degradasi, jumlah nelayan kerang hijau yang bertahan di Cilincing masih termasuk banyak.

Pak Ci adalah salah satu nelayan kerang hijau yang tinggal di Cilincing, Jakarta Utara. Yang unik dari keluarga Pak Ci adalah hampir seluruh anggota keluarganya berkecimpung dalam perikanan kerang hijau. Pak Ci sendiri sudah menjadi nelayan kerang hijau lebih dari 50 tahun. 3 orang anak lelakinya pun juga merupakan nelayan kerang hijau. Istrinya, Mak Ani bekerja sebagai penjual kerang hijau di dekat rumahnya. Hanya si bungsu yang bukan nelayan kerang hijau.

Suasana pagi hari di dermaga Cilincing, Jakarta Utara. Nelayan kerang hijau mulai melaut jam 06.00.

Kerang hijau yang sudah ditangkap lalu dibersihkan dari kotoran yang menempel di cangkang. Biasanya, nelayan tidak hanya mendapatkan kerang hijau tetapi juga mendapatkan kepiting yang nantinya dijual bersamaan dengan kerang hijau.

Suasana pagi pada saat itu sudah lumayan ramai di Cilincing. Terdengar suara langkah kaki tampak sedang berjalan meninggalkan Masjid. Selama perjalanan menuju Gang IV yang jaraknya hanya sekitar 200 meter itu, dapat dilihat ibu-ibu yang sedang menjajakan lapak jualannya, seperti nasi uduk ataupun gorengan. Di gang sekecil ini yang terlihat sejauh mata memandang hanyalah rumah-rumah penduduk yang tampak sangat padat. Belum lagi motor yang terparkir di sebelah rumah yang hanya memperparah sempitnya gang ini. Sampailah di sebuah gapura dengan patung kepala Elang yang tampak gagah menghiasi gapura bekas 17 Agustus an itu. Persis disebelah gapura tersebut, terdapat rumah kecil yang terbuat dari kayu. Didepannya terdapat tumpukan ember dan ada mesin cuci yang sepertinya tidak bisa digunakan lagi. Pak Ci yang baru saja melaksanakan sholat subuh di Masjid bergegas masuk kedalam rumah untuk bersiap-siap pergi melaut.

Didalam rumahnya yang sederhana, Pak Ci bersiap-siap untuk melaut. Tidak perlu seragam dinas, yang ia kenakan hanyalah kaos yang siap basah dan topi untuk melindunginya dari sengatan matahari. “Ini bekalnya jangan lupa dibawa” Ujar Mak Ani sambil memberikan totebag berwarna ungu itu. Totebag itu berisi bekal makan siang Pak Ci dan tumbler untuk minum. Setelah dirasa siap, Pak Ci berangkat. Biasanya, Pak Ci mulai berangkat melaut jam 06.00 WIB. Dengan menggunakan sendal jepitnya, ia melangkah melewati gang-gang menuju dermaga. Terkadang, ia menyapa beberapa tetangga sesama nelayan kerang hijau lainnya. Perjalanan dari rumah Pak Ci menuju dermaga membutuhkan waktu sekitar 5 menit.

Sesampainya di dermaga akan disambut oleh aroma laut Jakarta yang agak amis. Tempat inilah yang menjadi pusat industri kerang hijau di Cilincing karena ditempat ini, hasil tangkapan kerang hijau dari pengepulan hingga pembersihan dilakukan. Jejeran tempat pengepulan kerang hijau tampak berderetan. Mungkin masih pagi, jadi belum banyak orang yang dapat ditemukan disitu. Jaring-jaring untuk menangkap kerang hijau tampak bertebaran disekitar situ. Ada beberapa tempat untuk mengeringkan ikan asin juga disana. Dijalanan, sudah tidak heran lagi jika ditemukan cangkang kerang hijau yang berserakan. Tampak dari kejauhan, beberapa kapal cargo besar terlihat. Angin pada saat itu lumayan kencang bahkan terdengar siulannya hingga telinga. Sebelum menuju tempat kapalnya menepi, Pak Ci membeli solar untuk mesin kapalnya. Solar itu ia beli dengan harga Rp 30.000, katanya harga segitu sudah cukup untuk berlayar seharian. Lalu, ia melanjutkan lagi langkahnya menuju tempat kapalnya menepi.

Di Cilincing sendiri, terdapat berbagai macam jenis nelayan kerang hijau. Yang pertama adalah nelayan kerang hijau yang menangkap menggunakan alat bantu kompresor. Nelayan ini akan menyelam ke kedalaman kurang lebih 6 meter, lalu mencari kerang hijau di dasar perairannya. Keuntungan nelayan kompresor adalah mereka dapat bertahan lebih lama dibawah air, sehingga mereka dapat menangkap lebih banyak kerang hijau dibandingkan nelayan yang tidak menggunakan alat bantu bernafas. Namun, nelayan kompresor harus menyiapkan modal lebih untuk membeli kompresor, selang, dan bensinnya.

Yang kedua adalah nelayan kerang hijau yang menangkap kerang di lambung kapal yang sedang berhenti. Nelayan ini disebut nelayan pemberani dan termasuk cara tangkap yang paling berbahaya. Nelayan ini akan mengambil kerang hijau yang menempel di lambung kapal besar yang sedang berhenti. Keuntungannya adalah kerang yang didapatkan lebih mudah diraih dibandingkan diambil di dasar perairan, tetapi akan berbahaya jika kapal tersebut berjalan. Pada dasarnya, nelayan ini menangkap kerang hijau di lambung kapal itu tanpa izin terlebih dahulu, jadi orang yang ada di kapal besar tersebut tidak akan menyadari kalau dibawahnya ada nelayan yang sedang menangkap kerang hijau. Jika tidak hati-hati, nelayan kerang hijau ini bisa tertarik oleh baling-baling kapal besar yang sedang melaju. Sudah banyak nelayan kerang hijau yang menjadi korban ketika sedang menangkap kerang hijau di lambung kapal besar tersebut.

Yang ketiga adalah nelayan budidaya. Nelayan ini akan memasang sejenis jaring dan gala yang panjang di dasar perairan pada kedalaman sekitar 6 meter. Jaring dan gala tersebut kemudian di tinggal selama beberapa hari agar kerang hijau menempel di jaring tersebut. jika sudah pada waktu panen (1-2 minggu), jaring dan gala tersebut kemudian diangkat. Kerang hijau yang menempel kemudian diambil dari jaring tersebut. Biasanya, nelayan jenis ini memasang jaring atau gala di banyak titik agar hasil tangkapannya maksimal. Hasil tangkapan dari nelayan ini cukup banyak, namun karena tidak selektif, kerang hijau yang didapatkan juga random. Ada yang berukuran kecil, ada juga yang berukuran besar. Biasanya juga kerang hijau budidaya ini lebih kotor dibandingkan kerang yang ditangkap langsung.

Yang terakhir adalah nelayan yang menangkap di pemecah ombak. Pak Ci dan keluarganya adalah jenis nelayan ini. Nelayan ini menangkap kerang hijau di pemecah ombak sekitaran Teluk Jakarta. Biasanya, nelayan ini tidak menggunakan alat bantu bernapas alias hanya mengandalkan kemampuan napas sendiri. Mereka akan masuk kedalam air, lalu mencari kerang hijau di batu-batu pemecah ombak sampai jaring hasil tangkapan mereka penuh. Keuntungan nelayan ini adalah karena selektif, kerang hijau yang dihasilkan berukuran besar-besar. Kekurangannya adalah karena hanya mengandalkan napas sendiri, maka hasil tangkapannya tidak sebanyak nelayan lainnya.

Sesampainya di kapal, Pak Ci memberikan jerigen solar itu kepada Eri, anak sulungnya. Eri kemudian mengisi solar mesin kapalnya tersebut. Sedangkan Pak Ci, turun kedalam air mendorong kapalnya agar bisa melaut. Eri menarik tali penggerak mesin kapal tersebut, seketika mesin menyala dengan suara yang cukup bising. Knalpot mesin yang mengeluarkan asap berwarna hitam serta bau mesin yang cukup menyengat. Cuaca pada kala itu sedang tidak bersahabat, angin nya pun cukup kencang. Dikapal ini hanya terdapat 3 orang termasuk saya. Anak kedua dan ketiga Pak Ci sedang izin tidak melaut karena sedang tidak enak badan. Kapal ini bisa muat hingga 5 orang dengan hasil tangkapan full. Dibelakang, Eri mengendalikan kapal dengan lihai. Pak Ci duduk didepan sambil memantau kondisi perairan. Kapal itu berjalan melewati perbatasan antara dermaga dan laut lepas.

Eri yang sedang mengarahkan kapal yang sedang berjalan menuju tempat penangkapan kerang hijau

Pak Ci dan Eri yang sedang mengarungi perairan utara Jakarta menuju dermaga Cilincing.

Kerang hijau yang baru saja ditangkap di perairan utara DKI Jakarta kondisinya masih kotor oleh kotoran yang menempel di cangkang.

Pak Ci sedang menangkap kerang hijau di sela-sela pemecah ombak yang dipenuhi oleh sampah yang terjebak.

Pak Udin yang sedang mengangkat kerang hijau hasil tangkapannya ke darat untuk dijual ke pengepul.

Ombak pada hari itu termasuk tinggi dan cukup membuat mual. Sejauh mata memandang, lautan Jakarta memang dipenuhi dengan sampah. Airnya pun sudah tidak biru lagi, warnanya coklat kehitaman. Berbagai macam kapal-kapal besar dilewati. Kapal ini membutuhkan waktu 15 menit menuju pemecah ombak terdekat. Agar ombaknya tidak terlalu besar, Eri mengarahkan kapal ke bagian dalam pemecah ombak. Kapal tersebut disandarkan didekat bebatuan yang tidak terlalu tinggi. Pak Ci berjalan diantara batu pemecah ombak. Diatas batu tersebut, ia mempersiapkan peralatan untuk menangkap kerang hijau seperti kacamata dan jaring. Dari sisi ia menepikan kapalnya, ia menyebrangi sisi sebelah. Tinggi batu pemecah ombak ke permukaan air sekitar 3 meter. Pak Ci dan Eri harus berhati-hati menuruni batu tersebut. Dari atas, tampak Pak Ci dan Eri berenang diantara sampah-sampah yang terjebak di pemecah ombak. Mereka mulai menyelam dan mengambil kerang-kerang yang menempel di bebatuan. Setidaknya membutuhkan waktu 3 jam untuk bisa memenuhi jaring mereka. Jika jaringnya penuh, kerang-kerang itu akan di pindahkan terlebih dahulu kedalam karung, lalu mereka akan melanjutkan kembali menangkap kerang hijau. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB, waktunya bagi Pak Ci dan Eri untuk kembali ke Cilincing. Selama di perjalanan mengarungi ombak perairan Jakarta yang semakin tinggi, Pak Ci membersihkan kerang hijau hasil tangkapannya. Setidaknya, ketika kerang hijau itu sampai di tangan pengepul dalam kondisi yang baik dan bersih dari kotoran yang menempel.

Kerang hijau yang sudah ditangkap kemudian dijual ke pengepul. 1 karung penuh kerang hijau dihargai Rp 80.000 oleh pengepul. Pada hari itu, Pak Ci hanya menjual 2 karung kerang hijau. Setengah karung lagi ia bawa kerumah untuk dimasak oleh istrinya. Sesampainya di rumah, Mak Ci membersihkan kembali kerang hijau hasil tangkapan suaminya dari kotoran-kotoran yang menempel di cangkang. Kerang hijau tersebut kemudian dibilas lagi dengan air yang bersih. Setelah dirasa bersih, kerang tersebut kemudian dimasak dengan bumbu kuning buatan Mak Ci. Biasanya, Mak Ci mulai membuka lapak kerang hijaunya jam 15.00 WIB. Pada jam itu, banyak masyarakat Cilincing yang keluar rumah untuk sekedar bermain, mencari makan, dan bercengkrama di sekitar gang. 1 bungkus kerang hijau dihargai Rp 5.000 oleh Mak Ci. Setiap hari, Mak Ci bisa menjual kurang lebih 15 bungkus kerang hijau.

Hasil transaksi antara nelayan dengan pengepul. 1 Karung kerang hijau dihargai sebesar Rp 80.000 dikala itu.

Kerang hijau yang sudah diolah dan dimasak oleh Mak Ani. 

Setiap sore, kerang hijau yang sudah siap dijual oleh penjual kerang hijau keliling menggunakan motor.

Kondisi laut jakarta yang dipenuhi oleh sampah-sampah yang mengapung.

Teluk Jakarta sudah menjadi wilayah yang terkena dampak langsung dari berbagai aktivitas kota DKI Jakarta, karena menjadi tempat bermuaranya 13 sungai yang mengalir di DKI Jakarta, seperti Sungai Angke, Sungai Mookervaart, Sungai Grogol, Sungai Ciliwung, Sungai Kalibaru Timur, Sungai Cipinang, Sungai Sunter, Sungai Buaran, Sungai Jatikramat, dan Sungai Cakung. Melalui sungai-sungai inilah limbah bahan pencemar hasil berbagai aktivitas manusia seperti pemukiman, industri dan lain sebagainya mengalir ke Teluk Jakarta. Tekanan tersebut membuat kondisi perairan Teluk Jakarta mengalami degradasi. Berbagai isu lingkungan banyak terjadi di Teluk Jakarta seperti ledakan populasi alga berbahaya (HABS), kontaminasi logam berat, akumulasi logam berat pada biota-biota yang hidup di perairan Jakarta, pencemaran pestisida dan tingginya kandungan senyawa Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH).

Reklamasi Jakarta makin memperparah pencemaran yang terjadi. Untuk beberapa fungsi, reklamasi dapat mengutungkan bagi nelayan karena mereka dapat memarkirkan kapalnya lebih leluasa dibandingkan sebelum reklamasi. Namun, dampak negatif dari reklamasi berujung pada perubahan ekosistem disekitar area yang di reklamasi. Beberapa perubahan yang terjadi berupa perubahan pola arus, erosi dan sedimentasi, serta komposisi dan kelimpahan biota yang hidup di perairan tersebut. Dampak lain dari reklamasi adalah meningkatnya kekeruhan perairan.

Sebagai makhluk sesil yang memiliki mobilitas yang rendah, kerang hijau termasuk kedalam biota yang relatif tahan terhadap perubahan lingkungan. Hewan ini termasuk kedalam filter feeder, yang berarti memperoleh makanannya dari menyaring air. Hasil saringan air hewan tersebut yang merupakan makanan bagi kerang hijau seperti nutrien, karbon (C), nitrogen (N) dan fosfor (P). Sayangnya, perairan Jakarta sudah banyak tercemar oleh berbagai jenis logam berat. Sehingga, akan sangat memungkinkan akumulasi logam berat terjadi pada kerang hijau. Penyerapan logam berat pada kerang hijau berbeda pada setiap ukuran. Kerang hijau yang berukuran kecil cenderung lebih tinggi dalam menyerap logam berat.

Memakan kerang hijau yang sudah terakumulasi logam berat dapat berbahaya bagi kesehatan. Jenis logam berat yang kemungkinan diserap kerang hijau diantaranya mercury (Hg), Timbal (Pb), dan Kadmium (Cd). Keracunan Hg menyebabkan penyakit neurotoksik. Keracunan Pb dapat berpengaruh pada hampir semua sistem organ manusia, anak dibawah usia enam tahun lebih rentan terhadap efek Pb, juga keracunan timbal pada wanita hamil dapat berakibat serius pada janin. Organ paling terpengaruh terhadap keracunan Pb adalah sistem hematopoetik, sistem saraf pusat, sistem saraf tepi, dan ginjal. Keracunan Pb dapat mempengaruhi sistem peredaran darah, sistem saraf, sistem urinaria, sistem reproduksi, sistem endokrin, dan jantung. Efek keracunan Pb menyebabkan penyakit paru-paru dan kerusakan saraf (neurotoksik). Keracunan Pb memiliki efek buruk pada perilaku dan mental perkembangan anak-anak berusia 2-4 tahun. Paparan timbal pada masa kanak-kanak mempengaruhi perkembangan saraf dan temperamen anak usia dini. Kadmium yang termakan akan menyebabkan mual, muntah, salivasi, diare dan kejang perut. Efek racun dari kadmium menyebabkan kerusakan pada paru, ginjal, hati dan tulang. Efek keracunan logam berat memang tidak terlihat saat ini, namun akumulasi yang terus terjadi akibat memakan kerang hijau yang sudah terpapar logam berat dapat membahayakan.

Laut harusnya dapat menjadi sumber protein yang sehat untuk masyarakat. Beberapa waktu lalu, FAO menyatakan bahwa laut dapat menjadi solusi untuk mencegah kemiskinan dan kelaparan secara berkelanjutan. Disatu sisi, masyarakat Cilincing memang memanfaatkan kesempatan itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bergantung pada sumberdaya laut Jakarta. Namun di sisi lain, laut yang dimanfaatkan oleh mereka tidak dalam kondisi yang baik dan justru hanya merugikan mereka dari sisi kesehatan. Penyebab laut Jakarta yang tidak dalam kondisi baik itu adalah ulah dari kita sendiri yang tidak sadar akan pentingnya menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Tentunya kita tidak ingin lagi melihat anak-anak pesisir yang merupakan generasi penerus bangsa ini harus merasakan dampak buruk dari tercemarnya laut Indonesia.

Sampah-sampah yang mengapung di perairan utara Jakarta.

Sarung tangan yang biasanya digunakan nelayan kerang hijau untuk melindungi tangannya dari benda tajam ketika menangkap kerang hijau.

Tumpukan limbah cangkang kerang hijau di sekitar dermaga Cilincing.

Anak-anak Cilincing yang sedang menikmati pemandangan laut Jakarta.



Comments

Popular posts from this blog

#3 Diver corner : Macrobenthos identification methods

Pengambilan data makrobentos Hello gaess, welcome back to ma blogg uhuyyyy Oke udah lama gua gak nge post lagi di blog hehe.. jadi untuk post kali ini gua bakal membahas mengenai metode pengambilan data makrobentos. Hah? Makrobentos apaan tuh? Tenang dulu .. kita bakal bahas satu persatu jadi santuy aja ok? Jadi, untuk tutorial selanjutnya gua berencana untuk membuat tutorial yang mengarah ke scientific diver yaitu metode pengambilan data baik itu ikan, karang dan bentos. Nah, karena gua mengambil spesialisasi makrobentos maka untuk metode pertama yang kita bahas adalah makrobentos. Kalau ikan dan karang mungkin kalian udah pada kenal ya, tapi makrobentos itu apa sih? Kalau kita ngomongin makrobentos, mereka adalah hewan-hewan yang hidup didasar perairan baik itu sesil (menempel), merayap atau menguburkan diri mereka di substrat, karang, patahan karang dan bebatuan. Masih belum kebayang hewan-hewannya seperti apa ? coba kita lihat gambar berikut : I

Volunteering di Kaoem Telapak (Maret 2020)

5 Maret 2020 : Evaluasi selanjutnya Jadi untuk kali ini evaluasi untuk postingan-postingan sebelumnya. Mulai dari pewarnaan, font, dan lainnya. Namun untuk bulan ini saya memang sudah jarang mengedit lagi untuk Kaoem, seperti saat ini kaoem sedang sibuk-sibuknya karena ada beberapa konten yang tak sempat disiapkan. Untuk beberapa konten dadakan biasanya mba Mei sendiri yang mengedit *jadi selama ini mba Mei belajar ngedit. Jadi saya hanya mengerjakan beberapa konten sajaaa. Kami juga berdiskusi bakal ada konten video lagi. Video yang kemarin sudah saya buat templatenya ada beberapa revisi dan sudah saya perbaiki. Namun sampai saat ini belum ada konten lagi. Untuk pertemuan sekarang gak terlalu lama. Jadi hanya sekedar ngobrol, trus ngelawakk.. ngobrol ama orang-orang kaoem lainnya hehee.. Selain itu, saya juga ngobrol terkait jadwal saya untuk bulan Maret kedepannya bakal padet. Harusnya April saya ke Pulau, trus KKN, Ekspedisi, LPT, dan Simulasi.. *tapi itu sebelum coronsky meny

Sharing session with my mentor, Yoppy Pieter #6

 Hallooo guysss.. welcome to my blog again :)) Wah sudah masuk sharing session ke 6 ya gak kerasa :')... Jadi setelah ngeupload foto-foto hasil hunting kemarin,, selanjutnya dari mas Yoppy menyeleksi foto-foto yang saya dapatkan sesuai dengan project yang sudah ditentukan. Dari total keseluruhan ada 275 foto yang saya ambil, namun hanya 24 foto yang dipilih mas Yoppy.. Lalu, mas Yoppy menyampaikan bahwa ada beberapa foto lagi yang harus saya ambil diantaranya sebagai berikut : 1. Kehidupan nelayan sehari-hari 2. Cara nelayan ini bersosialisasi 3. Kehidupan nelayan dirumahnya 4. Nelayan ketika sedang makan 5. Nelayan ketika sedang tidur 6. Nelayan ketika bangun tidur 7. Kondisi sungai yang mengalirkan polusi 8. Aktivitas pengupasan kerang Menurut mas yoppy, foto-foto saya masih banyak yang terlalu candid. Foto tersebut masih menunjukkan kalau saya masih menjaga jarak dengan subyek yang saya incar. Ia berpesan kalau saya harus menjadi bagian dari mereka. Saya tidak boleh memandang pr